Tapa Bisu, Hastungkara Dan Birat Sengkolo Berjalan Hening Dan Khidmat
Salah satu prosesi tradisi yang dilaksanakan selama perayaan hari jadi Wonosobo adalah prosesi Tapa Bisu, Hastungkara dan Birat Sengkolo. Dimana rangakain tersebut dilaksanakan secara berurutan pada Rabu, (23/7/2025) di mulai dari Honggoderpo hingga Pendopo Bupati.
Prosesi diawali dengan Tapa Bisu, yakni kirab hening tanpa suara yang diiringi obor (oncor) sebagai penerang, dimulai pukul 19.15 WIB dan berakhir sekitar pukul 20.30 WIB. Rute kirab dimulai dari Klenteng Honggoderpo menuju Pendopo Kabupaten. Tapa Bisu menjadi simbol laku batin masyarakat Wonosobo dalam memohon keselamatan, keberkahan, dan dijauhkan dari segala bentuk bencana.
Sesampainya di Pendopo Selatan, para peserta kirab menyerahkan Tirta Suci Tirto Perwitosari, yakni air suci yang berasal dari tujuh mata air: Tuk Bimolukar, Gua Sumur, Tuk Mudal, Tuk Suradilaga, Tuk Tempurung, Tuk Kaliasem, dan Tuk Sampang. Air dari tujuh sumber ini kemudian disatukan melalui serangkaian ritual adat.
Setelah proses penyatuan air, digelar doa bersama lintas agama yang dikenal dengan nama Hastungkara atau Umbul Donga, dipimpin oleh para tokoh dari enam agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), bersama penghayat kepercayaan dari Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia. Doa lintas iman ini memperkuat semangat toleransi dan harmoni yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Wonosobo.
Selanjutnya, digelar prosesi Birat Sengkolo, yaitu pencampuran air suci dengan tanah (siti bantolo) yang dibawa dari Desa Plobangan, Kecamatan Selomerto, wilayah yang dahulu merupakan pusat pemerintahan Wonosobo. Air dan tanah yang telah didoakan ditanam di bawah naungan Ringin Kurung, pohon beringin kembar yang menjadi lambang perlindungan dan keseimbangan.
Wakil Bupati Wonosobo Amir Husein menyampaikan, Dengan doa bersama di momentum hari jadi ke-200 ini, semoga Kabupaten Wonosobo bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada sehingga bisa menjadi kabupaten yang aman, tentram, damai dan masyarakatnya makmur sejahtera.
"Saya menyerahkan tirta suci dari tujuh mata air yang telah disatukan sebagai sarana spiritual untuk membersihkan dan menjauhkan Wonosobo dari energi negatif, sekaligus sebagai ikhtiar batiniah menyambut Hari Jadi ke-200 Kabupaten Wonosobo,” ungkap Husein.
Tirta suci dan tanah dari Plobangan yang telah didoakan tokoh lintas agama dan penghayat kepercayaan akan ditanam di bawah Ringin Kurung. Ini bukan hanya simbol, tetapi harapan bersama agar Wonosobo senantiasa diberkahi keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan lahir batin.
Prosesi ini mengandung nilai filosofi ‘Sangkan Paraning Dumadi’, pengingat akan asal-usul dan tujuan hidup kita. Dengan menyatukan cipta, rasa, karsa, dan karya dalam doa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, kita mohon agar Wonosobo dijauhkan dari bencana, stunting, kemiskinan, serta hambatan pembangunan.
Melalui rangkaian adat dan spiritual seperti Tapa Bisu, Hastungkara, dan Birat Sengkolo, kita bangun harmoni antara langit dan bumi, antara cita dan cinta terhadap tanah kelahiran. Air dari tujuh sumber sebagai lambang kesucian, dipadukan dengan tanah sebagai akar budaya, menjadi simbol persatuan dan kekuatan kolektif.
“Mari kita maknai tema “Dwi Abad Wonosobo: Kukuh dalam Tembayatan, Unggul dalam Segala Hal, Menuju Wonosobo Sejahtera, Adil, dan Makmur”, sebagai komitmen bersama untuk membangun Wonosobo yang berdaya, harmonis, dan berkeadilan," pungkasnya.
Sementara itu, Kabid Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Wonosobo Ratna Sulistiyowati menjelaskan, Topo bisu itu doa dari masyarakat dengan harapan Wonosobo aman, tentram dan sejahtera, termasuk untuk pengambilan air itu doa dari kita semua agar Wonosobo terbebas dari bencana-bencana.
“Prosesi tapa bisu dilaksanakan dalam rangkaian Hari Jadi Kabupaten Wonosobo. Tapa bisu kali ini diikuti ratusan orang yang berasal dari Desa Plobangan Kecamatan Selomerto, yang dulunya pusat pemerintahan Wonosobo ada di sana," ucapnya.
Topo bisu hanya membawa air suci dari tuk sampang dan tanah makam Ki Ageng Wanasaba dibawa ke pendopo. Nanti ada pelepasan dari desa Plobangan kemudian dibawa ke Wonosobo dari Taman Plaza dibawa sampai ke Pendopo dengan arak-arakan membawa obor, air dan tanah
“Prosesi Birat sengkolo yakni tanah dan air dari Plobangan dicampur dan dilanjutkan doa bersama 7 pemuka agama, setelah itu air yang dicampur dibawa ke paseban timur untuk dilakukan birat sengkolo. Jadi rangakainnya ada 3 acara dari topo bisu, pendopo dicampur airnya lalu ke Paseban Timur," jelasnya.
Ratna menambahkan, secara filosofis, Birat Sengkala berarti membalikkan sengkala, atau menyingkirkan segala bentuk ketidakbahagiaan seperti huru-hara, bencana dan rintangan.
0 Komentar