Dokter Tidak Rasional Memberikan Antibiotik
“Banyak faktor memang (mereka memberi antibiotik). Mungkin kebiasaan pola praktek lama. Sakit karena virus dikasih juga,” ujarnya pada koran ini kemarin (18/10).
Akibatnya, banyak pasien yang akhirnya resisten terhadap antibiotik. Mereka tak lagi mempan dengan antibiotik level pertaman.
Diakhir 2013, menurut survey Litbangkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di 6 Rumah Sakit (RS) terdeteksi bahwa sebanyak 40-60 persen pasien sudah tidak mempan lagi dengan antibiotik generasi 1-4.
Imbasnya, lanjut dia, lama pengobatan pun juga akan semakin lama. Dan kemudian akan diikuti dengan pembengkakan biaya pengobatan. Sebab, semakin tinggi level obat maka semakin tinggi pula harga yang dibandrol.
Ghufron mencontohkan, untuk penyakit TBC misalnya. Jika pasien telah resisten, maka masa pengobatan yang bisa sembuh dalam enam bulan akan mundur hingga dua tahun. Sedangkan untuk besar biaya, akan mencapai 15 kali lipat dari kondisi sebelum resisten.
“Bisa sampai 15 kali lipat. Hingga puluhan juta rupiah pastinya, bisa demikian,” tandasnya. Bahkan lebih parahnya, sambung dia, penularan dari pasien resisten akan meyebabkan sang tertular berada di level resisten pula.
Karenanya, pihaknya tengah menyusun strategi untuk dapat mencegah bertambahnya angka resistensi antibiotik ini. salah satunya dengan dibentuknya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA).
KPRA akan bertugas untuk mengawasi penggunaan antibiotik di seluruh RS di Indonesia. Bagi RS yang dirasa telah melanggar batas pemberian antibiotik maka akan langsung dikenakan sanki. Sanksi dapat berupa teguran lisan, tulisan hingg pencabutan ijin.
“KPRA akan menyasar para calon dokter, agar mereka juga memahami pentingnya penggunaan antibitik secara bijak,” tutupnya.
Sumber : jpnn.com
0 Komentar