Harga BBM Naik, BI Jamin Bunga Tetap
Kendati harga BBM naik, pihaknya tidak akan merespons dengan kebijakan moneter yang impulsif. Misalnya, menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate). ’’Yang jelas, kami akan berusaha menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar. Karena itu, BI akan selalu berada di pasar,’’ ujarnya.
Sebaliknya, menurut Agus, kebijakan kenaikan harga BBM tersebut bisa direspons secara positif oleh pasar. Sebab, dengan mengerek harga BBM dan memangkas subsidi, diharapkan pemerintah baru mampu mengelola subsidi BBM dan listrik dengan baik. Misalnya, memperbaiki kondisi pangan, infrastruktur, sekaligus daya saing. ’’Kalau sekarang defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sebesar 3,2 persen dari PDB, itu harusnya bisa dibawa lebih rendah ke 2,5 persen dari PDB,’’ terangnya.
Sebelumnya, kenaikan harga BBM juga bisa berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Juda Agung menuturkan, kondisi pertumbuhan ekonomi yang positif tersebut bisa diraih bila terjadi pengalihan subsidi. ’’Asumsinya, ada pengalihan 50 persen subsidi dari anggaran BBM ke infrastruktur. Itu akan mendorong investasi dan menambah perbaikan pada PDB,’’ ungkapnya.
Ada beberapa skenario yang telah dihitung BI atas efek kenaikan harga BBM bersubsidi. Juda memerinci, bila terjadi kenaikan harga Rp 3 ribu per liter, inflasi diprediksi mendapat tambahan 3,16 percentage point (ppt). Tetapi, volume BBM bersubsidi bisa ditekan hingga 45 juta kiloliter (kl), sedangkan PDB terkerek cukup signifikan mencapai 0,15 ppt.
Sebaliknya, dengan kenaikan yang lebih rendah, yakni Rp 2 ribu per liter, tambahan inflasi hanya 2,11 ppt. Namun, posisi volume BBM bersubsidi masih cukup besar yang mencapai 46,1 juta kl dengan tambahan PDB yang tipis 0,06 ppt.
Sementara itu, upaya pemerintah menjinakkan inflasi menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Hingga akhir tahun pun, pemerintah masih optimistis bisa menjaga inflasi di level rendah. Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, dengan profil inflasi periode Januari–September 2014 yang bisa ditekan di angka 3,71 persen, dia yakin inflasi dalam tiga bulan terakhir masih bisa dikendalikan.
’’Kalkulasi saya, (inflasi 2014) bisa di bawah 5 persen,’’ ujarnya saat ditemui di gedung Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta, Rabu (1/10).
Menurut dia, periode inflasi tahun ini sudah melalui tahap krusial saat momen bulan puasa dan Lebaran pada Juli lalu. Karena itu, tekanan inflasi diperkirakan hanya terjadi lagi pada periode Desember mendatang. ’’Itu dengan catatan harga BBM tidak naik. Kalau pemerintah nanti menaikkan harga BBM pada November, inflasi sudah pasti di atas 5 persen,’’ katanya.
Berdasar data, sepanjang tiga tahun terakhir, pemerintah bersama BI cukup sukses mengendalikan inflasi. Misalnya, pada 2011 inflasi bisa ditekan hingga 3,79 persen dan pada 2012 mencapai 4,30 persen. Pada 2013, inflasi sebenarnya cukup terkendali. Namun, seiring adanya kenaikan harga BBM bersubsidi pada pertengahan tahun, inflasi pun langsung melonjak ke level 8,38 persen.
Di tempat terpisah, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin merilis data inflasi periode September di angka 0,27 persen. Dia menyebutkan, rendahnya inflasi tersebut dipengaruhi deflasi atau turunnya indeks harga kelompok bahan makanan yang berbobot signifikan dalam penentuan inflasi. ’’Artinya, ketersediaan dan distribusi bahan pangan lancar,’’ ujarnya.
Sumber : jpnn.com
0 Komentar