Masyarakat Diminta Tidak Gampang Termakan Isu SARA
Menurut Bupati, saat dihubungi via telepon, Selasa, 20 Mei, rusaknya rumah ibadah milik kaum minoritas, jangan dilebih-lebihkan apalagi jika dikaitkan dengan SARA, sebab hal ini bisa mengganggu kehidupan masyarakat yang sudah terbangun harmonis selama ini.
Dalam 3 tahun terakhir ini tidak terjadi konflik berarti yang menimbulkan tindak kekerasan Umat Beragama di Wonosobo, kalaupun disinyalir ada gejala ke arah tersebut, langsung segera ditangani mulai arus paling bawah dengan cara musyawarah untuk mufakat, yang difasilitasi oleh Muspika dan unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, bahkan tokoh pemuda setempat.
Dan yang tak kalah penting FKUB di Wonosobo telah berperan aktif dalam pembinaan kerukunan umat beragama, salah satunya dibuktikan dengan adanya kesepakatan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat bersama Daerah dalam rangka memantapkan kerukunan hidup beragama dan bermasyarakat menuju Wonosobo yang lebih maju dan sejahtera. Dan dalam rangka lebih menjalin kerukunan antar umat beragama di Kabupaten Wonosobo, melalui Kantor Kesbangpol dan Linmas pada bulan Desember 2012 sudah memfasilitasi terbentuknya FKUB Generasi Muda.
Lebih lanjut Bupati menyampaikan, peran kearifan lokal dalam mendukung keharmonisan kehidupan antar umat beragama di Wonosobo sangat besar. Konsep dasarnya adalah menghargai satu dengan yang lain, meskipun disadari terdapat perbedaan di tengah masyarakat, baik dalam keyakinan maupun cara beribadahnya, tetapi budaya saling menghargai satu kelompok dengan kelompok yang lain tetap dikedepankan, atau dengan kata lain, setiap perbedaan harus dihargai, tanpa harus melemahkan yang lain.
Beberapa upaya Pemerintah Kabupaten Wonosobo dalam pembinaan Kerukunan Umat Beragama, selain mengeluarkan kebijakan berupa membuat kesepakatan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat bersama Daerah dalam dangka memantapkan kerukunan hidup beragama dan bermasyarakat menuju Wonosobo yang lebih maju dan sejahtera, juga melakukan pendekatan dengan kesopanan, yakni menempatkan posisi semua kalangan atau kelompok umat beragama maupun penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan santun tanpa adanya tindakan diskriminatif.
Kemudian pihaknya juga memposisikan diri pada semua kelompok-kelompok untuk memerankan sesuai dengan kepentingannya masing-masing, tanpa harus merendahkan atau menjelek-jelekkan kelompok lainnya, sehingga semua kelompok berada dalam satu aturan main yang nyaman tanpa harus saling bersinggungan.
Terkait upaya dalam mengatasi timbulnya tindak kekerasan yang bernuansa beragama atau upaya deradikalisasi yang mungkin terjadi pada setiap agama dalam menjaga stabilitas bidang politik dan keamanan di Wonosobo, Bupati menambahkan, pihaknya bersama FKUB melakukan deteksi dini masyarakat, bekerja sama dengan aparat keamanan setempat, yakni TNI dan POLRI, dengan format Polmas dan Babinsa, yang melakukan pembinaan secara berkelanjutan di tingkat kelompok-kelompok masyarakat.
Selain itu juga dilakukan kegiatan secara bersama-sama antara kelompok masyarakat, seperti kegiatan kerja sama TNI dengan pemerintah berupa kegiatan kesamaptaan PNS, lomba-lomba olahraga tradisonal, dan Kebun Bibit tentara. Dengan POLRI, masyarakat juga dilibatkan dengan model “FKPM” atau Forum Komunikasi Polisi Masyarakat, dimana masyarakat dilibatkan dalam penanganan pelanggaran yang tertera dalam pasal-pasal tertentu dalam KUHP yang kategorinya ringan seperti penganiayaan ringan, pencurian ringan, konflik sosial yang bisa diselesaikan di desa setempat, dan perbuatan tidak menyenangkan atau meresahkan lainnya yang masih bisa diselesaikan di wilayah. Dengan pelajar juga dilakukan beberapa kerjasama berupa pembinaan dan penyuluhan secara berkesinambungan.
Demikian juga dengan sekelompok anggota masyarakat yang sering disebut “Freeman” atau Preman, mereka diposisikan untuk dicarikan lapangan pekerjaan sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki, namun demikian tetap dalam koridor aturan main yang benar.
Sementara terkait kelompok minoritas seperti Jemaat Ahmadiyah, kelompok ini secara fakta ada di sebagian wilayah kecamatan, khususnya di Kecamatan Watumalang, dan hanya terdapat di beberapa desa atau kelurahan saja di Kabupaten Wonosobo. Tercatat di Kabupaten Wonosobo, sampai akhir tahun 2012 ada 6.000 orang yang jadi Jemaat ahmadiyah dengan kondisi saat ini stagnan serta tidak berkembang.
Selain Jemaat Ahmadiyah, di Wonosobo beberapa kelompok minoritas lain, seperti Aboge (Alif Rebo Wage), Syiah yang saat ini berjumlah sekitar 250 orang, Salafi, Sabda Tunggal Jati serta kelompok lain yang tergabung dalam Himpunan Penganut Kepercayaan terhadap Tuhan YME (HPK) yang jumlahnya kurang lebih ada 6 kelompok kepercayaan, juga bisa berjalan harmonis di tengah masyarakat.
Sebelum Tahun 2005, kelompok minoritas tersebut memiliki aktivitas yang sangat terbatas dan tidak banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan maupun pembangunan, hal ini disebabkan adanya kekhawatiran terhadap serangan dari kelompok mayoritas atau pihak-pihak yang mengklaim mereka sebagai aliran sesat atau sebangsanya.
Namun saat ini, kelompok minoritas ini telah memiliki ruang yang cukup di tengah masyarakat, untuk bersama-sama menggunakan haknya, membangun Wonosobo agar lebih maju dan sejahtera.
Bupati juga menyampaikan bahwa prinsip utama yang dipegangnya dalam melaksanakan harmonisasi sosial di tengah masyarakat Wonosobo adalah jika Pemerintah tidak mengenali hak kaum minoritas dan hak asasi manusia, termasuk hak perempuan, niscaya tidak akan mempunyai kestabilan dan kesejahteraan di tengah masyarakat yang beragam.
Sementara terkait rusaknya Vihara Budha Dusun Butuh Desa Butuh Kecamatan Kalikajar, Camat Kalikajar, Tono Prihartono, menyampaikan kejadian terjadi pada hari Rabu, 14 Mei, saat jamaat umat Budha setempat sedang melakukan ibadah di Candi Sewu Yogyakarta, sekitar jam 9 malam. Pada saat itu cuaca sedang hujan deras disertai petir.
Sepulang dari Yogyakarta, mereka menemui tempat ibadahnya rusak dan segera dilaporkan pengurus ke Yayasan Budha di Kabupaten dengan maksud untuk mendapatkan ganti barang yang rusak dan tidak dilaporkan ke Kepala Desa maupun pihak yang berwajib.
Selanjutnya ada informasi bahwa penyebab kerusakan itu adalah dirusak massa. Untuk itu pihaknya bersama unsur Pemerintah Desa dan anggota Kepolisian melakukan olah TKP di tempat kejadian pada hari Minggu, 18 Mei.
Dari bukti-bukti penelitian kerusakan yang ditimbulkan dan keterangan dari umat, penyebab kerusakan yang ditimbulkan dan keterangan dari umat bukan dirusak oleh tangan manusia melainkan disebabkan oleh faktor kuatnya sambaran petir sebab posisi vihara paling tinggi diantara bangunan lain.
Selain itu, bukti fisik di lokasi berupa kabel gosong atau terbakar dan tempat kerusakan hanya di sekitar jalur kabel serta titik-titik yang rusak sangat tidak logis kalu dirusak dengan sengaja, menguatkan bahwa penyebab kerusakan adalah sambaran petir. Kemudian titik-titik yang rusak sangat tidak logis kalau dirusak dengan sengaja, karena justru banyak barang dalam posisi terbuka justru utuh dan tidak rusak.
Kesimpulan tersebut langsung disampaikan oleh pihaknya didampingi Kapolsek Kalikajar kepada jamaah yang hadir di lokasi, dan mereka bisa menerima penjelasan ini. Bahkan mereka terharu melihat keseriusan dan kepedulian Muspika Kalikajar beserta unsur Pemerintah Desa setempat dalam menangani kejadian ini, sehingga tidak menyebar menjadi hal-hal yang berbau SARA.
0 Komentar