Masyarakat Kecanduan Antiibiotik, Banyak Apoteker Nakal Jual Bebas

 

Akibatnya, mereka sudah tidak mempan lagi ketika benar-benar membutuhkan obat tersebut.

"Kadang penyakit yang disebabkan virus dikasih antibiotik. Akibatnya resisten. Padahal, kalau sudah tidak mempan maka akan mengancam jiwa," ujar Menkes saat ditemui di Kantor Kemenkes, Jakarta, kemarin (23/09).

Setelah ditelisik, mudahnya masyarakat mendapat antibiotik ini menjadi salah satu penyebabnya. Menkes menyebut, banyak apoteker yang justru menawarkan seenaknya obat yang tidak dapat dikonsumsi sembarangan itu.

Keinginan masyarakat awam untuk membeli antibiotik akan langsung diiyakan oleh apoteker. Padahal hakekatnya, apoteker memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan terkait obat yang akan dibeli oleh sang pembeli.

"Sudah ada aturannya (hanya dijual dengan resep dokter) tapi tidak ditepati (oleh apoteker). Para apoteker dan asisten apoteker ini tidak ikut aturan," tandasnya.

Tak hanya kalangan apoteker, diduga oknum dokter dan dokter spesialis yang juga ambil andil. Sebab, tak jarang dari mereka yang memberikan dosis antibiotik yang tidak sesuai.

Diakuinya, lemahnya pengawasan pada perilaku ini masih cukup rendah. Pemerintah tidak dapat mengawasi satu persatu apoteker yang ada. Karenanya, ia meminta organisasi profesi apoteker Indonesia turut ambil andil dalam pengawasannya.

Dokter spesialis anak ini pun juga meminta agar pemerintah daerah (Pemda) dapat bekerja sama untuk menindak apoteker nakal di wilayah mereka.

"Integritas seorang apoteker harus dikembalikan. Profesi harus punya harga diri untuk bisa menentukan ini yang melanggar dan tidak. Kita minta organisasi profesi dan pemda ikut menangani," katanya.

Sementara itu, Sekjen Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri membenarkan, adanya penjualan antibiotik secara bebas oleh para apoteker ini. Namun sayangnya, pihaknya tidak memiliki angka pasti berapa jumlah keseluruhan apoteker-apoteker nakal tersebut.

Hal ini pun dikatakannya menjadi suatu cambukan bagi instansinya untuk terus memperbaiki kualitas tenaga farmasi di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan didirikannya Majelis etik dan disiplin apoteker Indonesia tahun ini.  

Noffendri menuturkan, majelis ini akan bertugas untuk mengawasi dan memberikan pembinaan pada apoteker-apoteker di Indonesia.

"Majelis sedang menyusun pedoman-pedoman disiplin yang dimaksutkan untuk itu (apoteker nakal) agar tidak melakukan penjualan tanpa resep dan tindakan lainnya," tuturnya.

Dalam pedoman tersebut, Noffendri mangatakan, akan disiapkan sanksi-sanki bagi apoteker-apoteker nakal itu. mulai dari sanksi ringan hingga terberat, yakni pencabutan salah satu surat ijin praktek mereka.

"Jadi kan ada yang namanya sertifikat kompetensi apoteker dari IAI, surat tanda regestrasi apoteker dari Komite Farmasi Nasional. Kalau salah satu dicabut maka tidak bisa lagi berpraktek," ungkapnya.

Untuk diketahui, menurut penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) yang dimuat dalam Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik 2011 menyebutkan, dari 2.494 individu di masyarakat, 43 persen Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34 persen), kotrimoksazol (29 persen) dan kloramfenikol (25 persen).

 

Sumber : jpnn.com

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan tanda *