Siswa SLTPN 1 Wonosobo Teliti Tradisi Nyadran Tenongan Desa Giyanti

 

Menurut guru pendamping, Astiani, saat diterima Kepala Seksi Tradisi dan Kepercayaan Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo, Bambang Triyono, observasi ini dilakukan untuk melihat lebih dekat seputar tradisi nyadran, yang rencananya akan disusun menjadi kajian ilmiah, yang akan diikutkan dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja tingkat Provinsi Jawa Tengah.

Diangkatnya nyadran sebagai laporan karya ilmiah, karena orisinalitas serta keunikan budaya yang dimiliki tradisi nyadran tenongan, sehingga diharapkan muncul menjadi satu kajian budaya yang bisa memberikan satu ide atau gagasan terhadap upaya pelestarian salah satu budaya asli Wonosobo.

Bambang sendiri menyampaikan tradisi Nyadran Tenongan Desa Giyanti berlangsung setiap bulan sura atau Muharram, untuk memperingati hari jadi dusun Giyanti, Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto. Sebagai inti kegiatan adalah melakukan nyadran atau berziarah ke makam Adipati Mertoloyo, sebagai tokoh yang membuka atau mendirikan Dusun Giyanti. Dilanjutkan ke makam sesepuh dusun, serta upacara ritual pembacaan doa di pesanggarahan. Sedangkan kegiatan penunjang adalah “tenongan”, yakni menyajikan makanan, buah dan aneka jajan pasar dalam sebuah “tenong” yakni sebuah wadah dari anyaman bambu yang berbentuk lingkaran yang terdiri dari alas dan tutup kepada warga masyarakat, serta disemarakkan pula dengan pentas berbagai kesenian tradisional setempat, seperti tari lengger, kuda kepang, angguk, bangilun dan wayang kulit.

Setelah upacara ritual selesai, makanan, buah dan aneka jajan pasar yang disajikan pada ratusan tenong dan dijajarkan di sepanjang jalan kampung dekat kompleks pesanggrahan, dimakan beramai-ramai oleh anak-anak dan masyarakat di tempat itu. Konon, makanan tersebut membawa berkah bagi yang memakannya.

Bambang menambahkan, masyarakat setempat masih terus mempertahankan tradisi suran setiap tahun dari generasi ke generasi, sebab hal ini ditanamkan oleh para sesepuh pada generasi muda, agar tidak melupakan sejarah berdirinya dusun Giyanti, dan agar tetap menghormati pendiri serta sesepuhnya atas jasa-jasanya dalam membuka, mendirikan dan mengembangkan dusun Giyanti hingga sekarang ini.

 

Salah satu peserta, Masyrifah, siswa kelas IX, mengungkapkan, awal ketertarikannya mengangkat tradisi ini adalah saat ia bersama keluarga datang ke dusun Giyanti, untuk melihat langsung prosesi adat tersebut. Setelah melihat langsung, ia merasa ada satu daya pikat tradisi, yang layak diangkat menjadi satu penelitian budaya untuk menghasilkan satu konsep pelestarian nilai-nilai budaya tradisional yang kaya akan ajaran moral kebaikan.

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan tanda *