TKI di Korsel Keluhkan Sulit Beribadah dan Shalat Jumat

 

"Yang mendapatkan kemudahan beribadah, seperti salat lima waktu dan Jumatan, itu paling sekitar lima sampai sepuluh persen. Itupun mudah dalam artian bebas, tapi bosnya baik hati dan mengizinkan," Budi Haryanto, TKI yang bekerja di bidang konstruksi di Provinsi Gyeonghi Do.

Budi menjelaskan, larangan salat itu disampaikan dengan alasan mengganggu aktivitas kerja.

"Di sini masjid memang jarang, jadi untuk ke masjid bisa memakan waktu sampai satu jam dari tempat kerja. Kami ingin jam istirahat bisa ditambah, tapi itu sangat jarang bisa dikabulkan," tambahnya.

Sekretaris PCI NU Korea Selatan, Ali Fahmi Prawira Negara mengatakan pihaknya sudah menyampaikan aspirasi tersebut ke Kedutaan Besar Indonesia di Seoul, namun diakuinya hingga saat ini belum juga dikabulkan.

"KBRI sudah menyampaikan ke HRD Korea, sudah mendiskusikannya, tapi sulit dikabulkan. Alasan mereka simpel, muslim lain yang juga sekolah dan bekerja di sini tidak pernah mempermasalahkan hak salat," ungkap Fahmi seraya menjelaskan muslim lain yang juga bekerja di Korea antara lain berasal dari Pakistan, Banglades, Uzbekistan, Kazakstan, Nigeria, dan negara-negara lain.

Atas kesulitan tersebut, Fahmi mewakili TKI di Korea, khususnya yang tergabung dalam PCI NU, meminta PBNU bisa memfasilitasi adanya perundingan untuk terpenuhinya hak beribadah.

"Jadi kami mohon Pak Kiai (Said Aqil Siroj) bisa menyampaikannya ke Menakertrans, atau bahkan ke Pemerintah Indonesia secara langsung," tegasnya.

Menjawab permintaan tersebut, Kiai Said memyampaikan kesanggupannya.

"Ini masukan bagus bagi saya, bagi kami di PBNU. Saya akan membawanya ke Jakarta dan berusaha keras agar hak beribadah TKI di Korea ini bisa terpenuhi," pungkas Kiai Said.

 

Sumber : jpnn.com

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan tanda *