2014, Terjadi 408 Kasus Kekerasan PRT, 85 Persen Kasus Kekerasan Berhenti di Kepolisian

 

"Dari data untuk tahun 2014, 90 persen multikasus. Baik itu kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia. Pelakunya majikan dan agen penyalur PRT," ujarnya pada konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH)  Jakarta, Minggu (14/12).

Dari data tersebut, 85 persennya kata Enny, proses hukumnya juga berhenti di kepolisian. Kondisi ini dinilai perlu menjadi catatan khusus, karena memerlihatkan penegakan hukum tidak berjalan dan pelaku tidak ada efek jera. Sehingga dikhawatirkan kembali melakukan tindakan penyiksaan berulang.

Contohnya seperti yang dilakukan tersangka Syamsul Cs di Medan, beberapa waktu lalu. Kekerasan yang setidaknya diduga menewaskan dua PRT, Cici dan Yanti, bukan kali pertama dilakukan. Bahkan kasus serupa telah tiga kali sejak 2011 lalu.

"Ini terjadi karena tidak ada payung hukum. Karena itu Jala PRT mendesak DPR dan Pemerintah tanggap dan tidak menutup mata. Mereka harus segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT dan ratifikasi ILO 189, tentang kerja layak PRT," katanya.

 

Anggap DPR Tak Serius Tuntaskan RUU Perlindungan PRT

JAKARTA - Rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah selama sepuluh tahun terakhir ini terkatung-katung di DPR. Padahal, angka kekerasan terhadap PRT terus meningkat, sementara hingga saat ini tidak ada standar upah minimum maupun jaminan kesehatan dan pendidikan bagi para pekerja sektor domestik itu.

Menurut pegiat di Jala PRT Jakarta, Pratiwi, ada dua hal yang menjadi penyebab RUU ini terkatung-katung. “Yang pertama,  ketidakprofesionalan legislator. Mayoritas anggota Komisi IX dan Badan Legislasi DPR dua periode sebelumnnya, tidak menempatkan diri mereka sebagai legislator. Tapi majikan yang memekerjakan 5-6 PRT," ujar pegiat Jala PRT Jakarta, Pratiwi, di LBH Jakarta, Minggu (14/12).

Menurut Pratiwi, anggota legislatif terkesan berpikiran jika RUU Perlindungan PRT disahkan maka akan berimbas langsung terhadap mereka. Paling tidak, harus para wakil rakyat itu juga harus mengeluarkan uang lebih banyak guna membayar gaji PRT sesuai upah minimum. Termasuk, memberi tunjangan kesehatan dan wajib libur satu hari dalam seminggu.

Sebab lainnya, kata Pratiwi, RUU itu juga mandek karena ada paradigma kolektif yang melihat PRT bukan pekerjaan yang membutuhkan skill. “Ditambah secara kultur, di Indonesia masih membudaya sistem PRT sebagai relasi keluarga. Jadi belum dianggap pekerja profesional. Ketika ada UU Perlindungan PRT, akan merusak budayayang penuh kekerabatan," katanya.

Pratiwi pun mengingatkan bahwa pandangan itu sangat keliru. Sebab, jasa PRT sangat dibutuhkan banyak kalangan baik dari keluarga yang berpenghasilan luar biasa, hingga kelas buruh. Karena itu PRT harus dihargai sebagai sebuah pekerjaan.

"Karena itu kita mendesak DPR segera memasukkan RUU Perlindungan PRT masuk dalam program legislasi nasional 2015. Rancangannya sudah ada, hasil-hasil kajian dan data pendukungnya juga ada," katanya.

 

Ada Tren Peningkatan Kasus Kekerasan Terhadap PRT

JAKARTA - Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat sepanjang 2014 ini telah terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Angka itu menunjukkan adanya tren peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Menurut pegiat Jala PRT, Enny R, dalam dua tahun selama 2012 dan 2013 lalu terdapat 653 kasus kekerasan terhadap PRT. Namun, angka untuk tahun saja ini sudah mencapai 408 kasus.

"Dari data untuk tahun 2014, 90 persen multikasus. Baik itu kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia. Pelakunya majikan dan agen penyalur PRT," ujar Enny pada konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH)  Jakarta, Minggu (14/12).

Enny menambahkan, dari data itu juga diketahui pula bahwa sebagian besar atau 85 persen kasus kekerasan terhadap PRT yang sudah diproses hukum justru mandek di kepolisian.  Menurutnya, kondisi itu perlu menjadi catatan khusus, karena memerlihatkan penegakan hukum tidak berjalan dan pelaku tidak ada efek jera.

Contohnya seperti yang dilakukan tersangka Syamsul Cs di Medan, beberapa waktu lalu. Kekerasan yang setidaknya diduga menewaskan dua PRT, Cici dan Yanti itu bukan kali pertama dilakukan. Bahkan, kasus serupa telah tiga kali sejak 2011 lalu.

"Ini terjadi karena tidak ada payung hukum. Karena itu Jala PRT mendesak DPR dan Pemerintah tanggap dan tidak menutup mata. Mereka harus segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT dan ratifikasi ILO 189 tentang kerja layak bagi PRT," katanya.

 

Sumber : jpnn.com

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan tanda *