Anggap UU P3H Hanya Susahkan Masyarakat Tradisional
Andi mengatakan, subtansi UU P3H yang mencederai hak-hak masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan terlihat dari sanksi pidana pada peraturan perundang-undangan itu. Pemberlakuan sanksi pidana tetap diarahkan kepada petani, masyarakat lokal, dan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84 dan pasal lain di UU P3H.
Andi mengungkapkan, sejak disahkannya undang-undang itu pada 6 Agustus 2013, sudah ada empat orang anggota masyarakat hukum adat yang dipenjara. Di antaranya dari masyarakat hukum adat Semende Banding Agung.
Bahkan, sambung Andi, UU itu juga digunakan untuk mengancam warga desa. "Di Desa Kenongo, Lumajang, UU P3H digunakan Perum Perhutani untuk mengancam warga desa yang justru sedang berjuang memakmurkan desanya dengan membuat jalan," ucapnya.
Berdasarkan data yang dimiliki koalisi, sudah ada 11 perkara dengan 22 orang yang terjerat dalam perkara kawasan hutan. Perkara itu sudah diputus di pengadilan negeri.
Terdakwa dalam perkara itu bukan hanya berasal dari masyarakat hukum adat, tetapi ada juga dari petani dan sopir yang mengantarkan kayu dari perusahaan. Oleh karena itu, Andi menilai UU P3H tidak menjamin perlindungan hak konstitusional masyarakat. "Maka Koalisi Anti Mafia Hutan meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan keseluruhan UU P3H," ucapnya.
Semangat UU P3H untuk menyasar korporasi juga dipertanyakan oleh aktivis Perkumpulan HuMa (Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis), Erwin Dwi Kristiyanto. Pasalnya, UU itu lebih mengarah kepada individu. "Niat undang-undang ini menyasar korporasi dipertanyakan," tandas Erwin.
Koalisi Anti Mafia Hutan sudah menjalani sidang pertama uji materiil pada 14 Oktober 2014. Sidang berikutnya dijadwalkan berlangsung pada 20 November 2014 dengan menghadirkan saksi dan ahli dari pihak koalisi.
Sayangkan UU Antiperusakan Hutan Tak Bisa Jerat Korporasi
JAKARTA - Koalisi Anti Mafia Hutan mempertanyakan penerapan sanksi pidana penjara kepada korporasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Sebab, sebuah korporasi tidak bisa dihukum penjara.
"UU ini (P3H) menerapkan sanksi pidana penjara kepada korporasi. Korporasi seharusnya diberi pidana denda atau pencabutan izin," kata Koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan, Andi Mutaqien dalam konferensi pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (16/11).
Menurut Andi, apabila pihak yang akan dikenai sanksi pidana penjara adalah pengurus suatu korporasi, maka hal itu harus dijelaskan secara eksplisit di dalam undang-undang. Tapi jika tidak dijelaskan secara rinci, maka bisa dijadikan celah oleh orang-orang tertentu untuk lolos dari jerat hukum.
Untuk itu, koalisi sudah mengajukan uji materil terhadap UU P3H ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka sudah menjalani sidang pertama pada 14 Oktober 2014. Kepada MK, Koalisi meminta untuk membatalkan keseluruhan UU itu.
Selain ke MK, lanjut Andi, pihaknya juga meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar melakukan review terhadap UU P3H. "Selain menggugat ke MK, kita meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mereview undang-undang itu," ujarnya.
Sumber : jpnn.com
0 Komentar