BI Rate Masih Bisa Tetap

 

Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengatakan, sepanjang pemerintah belum memberi kepastian soal kapan BBM dinaikkan, maka BI rate masih bisa tetap.

Namun, apabila harga BBM terkerek, Tony menekankan bahwa BI rate tidak harus dinaikkan. "Karena nanti perlu dilihat apa ada tekanan terhadap rupiah dan capital outflow (arus modal keluar)," ungkapnya kemarin (12/11).

Menurut Tony, ada beberapa skema kenaikan BBM yang bisa mendasari terkatrolnya BI rate. Yakni apabila BBM naik Rp 3.000 per liter, sehingga BBM seharga Rp 9.500 per liter. Dengan level kenaikan tersebut, dipastikan inflasi bakal mencapai kisaran 8 persen.

Sebaliknya, apabila BBM naik Rp 2.500 per liter, yang artinya harga BBM menjadi Rp 9.000 per liter, inflasi sepanjang 2014 diperkirakan bisa ditekan di bawah 8 persen. Sementara iflasi pada 2015 hanya di kisaran 5 persen.

"Sehingga BI rate tidak perlu dinaikkan dari level sekarang agar likuiditas tidak semakin ketat," terangnya.

Apalagi, Tony menuturkan, dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM biasanya bersifat one shot inflation atau temporer. "Dengan modal (BI rate 7,5 persen) ini, pertumbuhan ekonomi 5,6 persen pada 2015 tampakanya masih bisa tercapai," ujarnya.

Sebagaimana diwartakan, tidak adanya kepastian soal waktu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, terus memicu kekhawatiran masyarakat.

Hal ini ditunjukkan hasil survei Bank Indonesia (BI) yang mencatat adanya ekspektasi tekanan harga pada Desember 2014. Indeks ekspektasi harga (IEH) naik 4,5 poin sebesar 156,5 dari survei November 2014. IEH diperkirakan kembali turun menjadi 129,6 pada Maret 2015.

"Kekhawatiran terkait kebijakan BBM bersubsidi itu juga diiringi kenaikan harga barang dari distribusi," ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara.

Sementara itu, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan tingkat harga barang dan jasa di masyarakat tetap terkendali apabila pemerintah menaikkan harga BBM sebagai konsekuensi pengurangan subsidi.

Otoritas moneter tersebut bakal menjalin komunikasi intens dengan tim pengendaliinflasi"daerah (TPID) untuk mencegah terjadi"second round effect"kenaikan BBM.

Dia menjelaskan, setiap kenaikan BBM sekitar Rp 1.000 per liter, akan menyumbang inflasi kurang lebih sekitar 1,1-1,5 persen. Lantaran itu, menurut Perry, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dengan memberikan angka-angka pertimbangan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan efeknya terhadap defisit transaksi berjalan.

"Apabila koordinasi baik, kami siap pastikan dampak (kenaikan BBM) terhadap"inflasi"tetap terkendali dan hanya temporer," ujarnya. 

 

Sumber : jpnn.com

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan tanda *