Moratorium TKI Belum Bertaji

 

Dia menambahkan, kebijakan moratorium ke sejumlah negara itu baru dicabut ketika dirinya sudah bisa memastikan perbaikan pelayanan TKI di negara yang dimoratorium telah terjamin. Bukan hanya di tingkat hilir (negara tujuan), tapi juga di tingkat hulu.

”Jangan lupa, masalah tenaga kerja ke luar negeri itu sangat kompleks. Ibaratnya, sejak mereka melangkah keluar dari pintu rumah itu sudah banyak yang bermasalah,” tandasnya.

Hanif menunjuk, antara lain, pola perekrutan TKI yang bakal diberangkatkan. Selama ini, ungkap dia, ada sejumlah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja yang menerapkan sistem honor kepada sejumlah perekrut calon TKI. Besaran honor dihitung berdasar jumlah keberhasilan yang bersangkutan menarik orang untuk mau berangkat.

”Ini kan secara teoretis sudah potensi muncul pemerasan, dan ujung-ujungnya ya masalah. Nah, hal-hal seperti ini yang juga harus kami pastikan bisa tertangani dulu sebelum cabut moratorium,” ujar menteri asal PKB tersebut.

Masih seputar TKI, pemberian izin terhadap perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) juga dimoratorium. Kebijakan itu juga diterapkan sejak kementerian era Muhaimin Iskandar. ”Kami juga akan mempertahankan,” kata Hanif.

Bahkan, lanjut dia, pihaknya siap mencabut izin perusahaan-perusahaan yang terbukti tidak memenuhi kualifikasi. Saat ini ada sekitar 520 PJTKI yang masih beroperasi.

Terkait hal tersebut, Hanif menceritakan pertemuannya dengan sejumlah pimpinan PJTKI beberapa waktu lalu. Di depan mereka, dia menceritakan mimpi yang sering mampir ketika tidur sejak menjadi menteri. Yakni, dari sekitar 520, yang nanti tersisa hanya sekitar 100 PJTKI.

”Ya, namanya juga mimpi, kata orang mimpi sih cuma kembang tidur,” katanya mengulang ucapannya di depan forum sambil tersenyum.

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah memberikan catatan kritis terhadap perjalanan moratorium. Khususnya, penghentian sementara pengiriman TKI ke sejumlah negara. ”Evaluasi utama saya, selama ini ternyata tak ada evaluasi,” kata Anis.

Maksudnya, imbuh dia, selama perjalanan moratorium sejak 2011, tidak banyak efek yang dirasakan menyangkut perbaikan sistem pengiriman ataupun jaminan terhadap TKI ketika berada di negara tujuan.

”Masih tidak ada monitoring yang memadai, tidak ada pendekatan-pendekatan menuju perbaikan, jadi ya moratorium menjadi tidak ada tajinya,” tandas dia.

Bahkan, lanjut Anis, bukan perbaikan yang didapat, sejumlah efek buruk dari pelaksanaan monitoring yang malah muncul. Menurut dia, perdagangan orang ke negara-negara yang dikenakan moratorium menjadi lebih luar biasa. Tentu saja, itu melalui jalur-jalur ilegal.

Dia menunjuk salah satu data di Malaysia, yang termasuk negara yang terkena moratorium, namun telah dicabut. Semasa moratorium, Juni 2009–Desember 2011, praktik penempatan TKI tidak berhenti sama sekali.

Menurut Anis, 22 ribu permit kerja untuk TKI telah diterbitkan pemerintah Malaysia. ”Gambaran ini juga ada di Arab (Saudi) atau di negara-negara lain. Ini gambaran tidak seriusnya atau lemahnya pemerintah ketika menerapkan moratorium,” ungkapnya.

Belum lagi, imbuh dia, masalah overstayer pekerja Indonesia. Mereka yang sudah bekerja di negara yang terkena moratorium dan izin kerjanya sudah habis memilih untuk tetap tinggal dan menjadi pekerja ilegal. Karena status mereka, kerawanan terhadap keberadaan mereka juga jadi lebih tinggi.

”Sekarang kita bisanya menunggu pemerintahan yang baru. Bakal sama, lebih baik, atau justru lebih buruk,” tutur Anis.

 

Sumber : jpnn.com

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan tanda *