Penghentian Kurikulum 2013 seperti Buah Simalakama
"Penerapan yang terlalu terburu-buru, sehingga jadi masalah. Dilanjutkan terus lebih masalah. Kalau dihentikan tentu ada masalah, kalau diteruskan ongkosnya akan lebih mahal untuk guru, sekolah dan anak-anak kita," terang Anies, kepada wartawan, di Jakarta, Senin (8/12).
Menurut Anies, persoalannya muncul bukan karena faktor gonta-ganti kurikulum. Seluruh kurikulum itu memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Namun, kata dia, yang jadi masalah adalah ketika proses pengembangannya belum selesai, kemudian implementasinya dipaksakan bagi seluruh sekolah nasional.
"Jadi persoalannya bukan kurikulumnya boleh diganti, memang harus selalu berkembang. Tapi ketika implementasi terlalu terburu-buru di situ masalahnya. Bahkan, substansinya saja masih harus dievaluasi," ujarnya.
Anies mengaku, penerapan K-13 yang terlalu terburu-buru tanpa mengevaluasi secara lengkap dan menyeluruh menjadi sebab pengambilan keputusan sulit itu.
"Padahal evaluasi sangat menentukan untuk mencari kesesuaian antara ide kurikulum dan desainnya. Antara desain dan dokumen, dokumen dengan implementasi dan ide kurikulum, hasil serta dampak dari implementasinya, kalau tanpa evaluasi sama saja tidak," katanya.
Nah, untuk mematangkan kembali konsep K-13 tersebut, pemerintah akan membentuk tim khusus pengembangan kurikulum. "Tugas pengembangan Kurikulum 2013 akan dikembalikan kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud. Pengembangan Kurikulum 2013 tidak lagi ditangani tim ad hoc yang bekerja jangka pendek," ujar Anis.
Namun, lanjut Anis, Kurikulum 2013 tetap dilanjutkan penerapannya di sekolah-sekolah yang telah mengimplementasikan K13 selama tiga semester. Dan ke depan, Sekolah-sekolah ini akan dijadikan sebagai sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013.
"Sembari terus mengimplementasikan K-13 disejumlah sekolah, Kemendikbud akan melakukan perbaikan fundamental terhadap Kurikulum 2013 agar lebih tersempurnakan," tuntasnya.
Sementara, keputusan Anies untuk menghentikan K-13 dan mengevaluasi kembali kurikulum, diamini oleh pengamat pendidikan, Darmaningtyas. Menurutnya, keputusan Mendikbud untuk menerapkan K-13 secara bertahap itu secara teknis dapat diterima.
Mengingat kondisi Indonesia yang amat beragam dilihat dari aspek geografis, sosial, budaya, serta infrastruktur transportasi dan komunikasi. Namun, Tyas menggarisbawahi persoalan fundamental K13 bermasalah dan harus dievaluasi.
"Justru secara konseptual kurikulum ini bermasalah, seperti keberadaan kompetensi inti yang dapat mengacaukan epistimologi setiap bidang pelajaran. Penambahan jam pelajaran agama di SD hingga dua jam, tapi pelajaran seni dan olah raga terbatas. Serta penempatan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum daerah, karena ternyata di lapangan guru bahasa daerah yang dasar mengajarnya hanya Pergub tidak bisa mengikuti sertifikasi," jelas Tyas, yang juga mantan tim pembahas K-13 di era M. Nuh.
Guru: Tidak Hanya Soal Kurikulum
JAKARTA - Mendikbud Anies Baswedan yang menyebut pendidikan Indonesia dalam kondisi gawat darurat dibenarkan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Menurut Anggota Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema, pernyataan Mendikbud tersebut adalah kenyataan terkini yang harus diselesaikan dengan solusi bijak.
Kenyataan buruk itu tuturnya, bukan hanya terkait soal kurikulum saja, melainkan banyaknya persoalan fundamental dalam pendidikan yang sampai detik ini belum terselesaikan.
"Persoalan itu tidak hanya kurikulum saja, tetapi sarana prasarana yang menunjang layaknya pendidikan. Seperti akses keterjangkauan sekolah di daerah, persoalan terkait guru, otonomi dan kebebasan guru. Jadi, tidak semata-mata soal kurikulum," katanya, kepada INDOPOS (Grup JPNN), Senin (8/12).
Kondisi real itu, lanjutnya, berbanding lurus dengan penerapan kurikulum 2013 yang cukup membuat guru dan siswa mengeluh. Dia menilai di tengah keterbatasan sarana dan kompetensi pendidik yang belum siap, tentunya pemerintah harus memiliki jurus jitu dalam memecahkan persoalan tersebut. Tidak hanya memaksakan satu cara untuk dipakai secara menyeluruh. Harus ada solusi komprehensif dan kreatif agar semuanya terakomodir.
Doni menilai, perlu adanya metode yang bagus untuk menampung semua aspirasi pendidikan, tidak hanya melulu mengenai kurikulum. Nah, untuk itu Doni mengatakan perlu adanya metode berbasis potensi lingkungan.
"Pendidikan yang bagus itu tergantung metode di dalam kurikulum. Untuk Indonesia sendiri saya pikir lebih cocok dengan metode berbasis potensi lingkungan, kontekstual, dan bersifat partisipatif. Apapun kondisi lingkungannya bisa diterapkan semua. Namun, perlu digarisbawahi harus ada kompetensi dasar yang dibutuhkan yang didesain nasional biar tidak bisa jalan sendiri-sendiri," ujarnya.
Sebaliknya, kata dia, di tengah kondisi pendidikan nasional yang membutuhkan solusi yang komprehensif itu, pemerintah belum bisa menjawab dan merealisasikannya dengan baik. "Metode yang dipakai berbasis IT, tidak bisa digunakan semua. Apakah pusat akan memaksa metode IT kemudian tidak jalan semua," tukasnya.
Ditambah persoalan guru dan sekolah yang selalu dikerangkeng birokrasi pusat yang menuntut kepatuhan dari bawahan. Jadinya, guru tidak bebas berkreasi sehingga menutup kreativitas pendidik di daerah. Oleh sebab itu, perlu adanya otonomi khusus buat guru. "Otonomi guru harus dikembalikan, segala intervensi harus di hapuskan," tegasnya.
Sumber : jpnn.com
0 Komentar